Sabtu, 04 Juni 2011

[Drainase] Banjir di Ibukota


Banjir di Jakarta dan Penyebabnya
Banjir bagi warga kota Jakarta bukan merupakan masalah besar lagi dan sudah menjadi rutinitas. Cuaca ekstrim, menyebabkan banjir terjadi di semua wilayah Jakarta. Selain itu, hujan lebat akibat cuaca ekstrim membuat Jakarta terancam kemacetan parah, selain potensi tenggelamnya sejumlah kawasan di Ibukota.
Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung ditambah banyaknya volume air sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir (banjir Jakarta 2007).
Beberapa penyebab banjir antara lain banjir kiriman yang terjadi ketika daerah yang lebih tinggi tidak mampu menangkap air hujan sehingga air hujan menjadi aliran permukaan yang cukup besar dikarenakan kerusakan alam di daerah tersebut.
Penyebab banjir lainnya yang disebut dengan banjir lokal, terkait dengan drainase dan penataan lahan di daerah tersebut. Banjir lokal ini lebih bersifat setempat sesuai dengan luas kawasan yang terkena aliran dari air hujan. Penyebabnya adalah sistem drainase yang belum memadai dan masih banyak yang menghambat jalannya sistem drainase sepeti adanya fasilitas bangunan bawah tanah, penyalahgunaan saluran dan pemanfaatannya yang masih untuk berbagai tujuan sehingga besarnya kapasitas saluran dengan volume air yang dialirkan tidak sebanding, akibatnya air akan meluap.Dan yang ketiga adalah banjir karena rob. Permukaan tanah yang lebih rendah dari pada muka pasang air laut (HWL). Seperti yang sudah kita ketahui kini ada beberapa daerah yang tanahnya mengalami penurunan, bahkan ada yang mencapai 10 cm tiap tahunnya. Hal ini patut diperhitungkan dan dicari solusinya. Bertambah tingginya pasang air laut. Hal ini merupakan dampak dari adanya global warming yang mengakibatkan es di kutub utara dan selatan mencair. Sehingga lelehan es tersebut menambah volume air laut. Serta sedimentasi dari daerah atas di muara sungai

Dampak Akibat Terjadinya Banjir
Akibat banjir, seluruh aktivitas di kawasan yang tergenang lumpuh. Jaringan telepon dan internet terganggu. Listrik di sejumlah kawasan yang terendam juga padam. Di dalam kota, kemacetan terjadi di banyak lokasi, termasuk di Jalan Tol Dalam Kota. Genangan-genangan air di jalan juga menyebabkan sejumlah akses dari daerah sekitar pun terganggu. Arus banjir menggerus jalan-jalan di Jakarta dan menyebabkan berbagai kerusakan yang memperparah kemacetan.
Kerugian materi dan beban psikologis serta timbulnya wabah penyakit bahkan korban jiwa yang diakibatkan bencana ini wajib diperhatikan agar pemerintah seluruh emest di dunia dapat melakukan perbaikan tata ruang kota serta tersedianya ruang hijau yang sangat cukup. Jika hal ini tidak dilakukan, tidaklah mustahil jika masa depan planet bumi tercinta ini akan suram karena terjadinya kerusakan lingkungan yang amat parah.


Potensi Banjir di Kota Jakarta









Banjir yang melanda Jakarta umumnya disebabkan oleh banjir kiriman dari Bogor atau hujan yang sangat deras dengan waktu lama antara 1-3 hari. Ada pun banjir karena pasang laut boleh dikata agak jarang dan hanya melanda kawasan tertentu di pesisir (Jakarta Utara seperti Rawa Buaya) jika ada tanggul yang jebol. Boleh di kata kawasan banjir Cawang, Kampung Melayu, bahkan jalan tol Cengkareng terlepas dari banjir pasang laut karena posisinya yang lebih tinggi dari permukaan laut.
Ada pun banjir karena hujan, jika aliran sungai mengalir lancar dan drainase (kanal buatan) mengalir dengan baik hingga ke laut bisa dicegah. Tapi ini artinya air tawar yang berharga sia-sia terbuang ke laut. Akan lebih baik lagi pemerintah memperdalam sungai, membuat bendungan atau mengambil alih situ/danau yang ada untuk menampung kelebihan air hujan tersebut.
Survei dan penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) menyimpulkan sedikitnya 60 titik di Jakarta, khususnya Jakarta Utara, rawan amblas akibat penurunan tanah mencapai 116 sentimeter (1,6 meter) selama delapan tahun. Pada 2050 diperkirakan empat kecamatan di Jakarta Utara akan tenggelam. Hal ini akan terjadi jika pemerintah tidak mengantisipasi pembangunan di ibukota. Salah penyebabnya pemerintah dinilai tidak tegas dalam pembatasan pembangunan dan pengambilan air tanah pada sejumlah daerah di Ibukota yang dekat laut. Akibatnya, jika hujan mengguyur sebentar saja, maka wilayah di Jakarta terlanda banjir. Kanal Banjir Timur (BKT) tampaknya tak mampu mengatasi bencana tahunan yang kerap melanda Jakarta ini. Cuaca ekstrim akan memperparah kondisi ancaman itu.










Jika kita amati topografi Jakarta yang secara sederhana digambarkan di sini, umumnya banjir terjadi karena adanya tanggul/bendungan yang menahan aliran air sehingga tidak mengalir ke laut dan menggenang jadi banjir. Diantaranya Pintu Air Manggarai yang menahan air Kali Ciliwung sehingga air menggenangi wilayah Kalibata, Cawang, dan Kampung Melayu. Di utara ada Tanggul Pantai Indah Kapuk yang menahan air banjir dari jalan Tol Cengkareng di kilometer 24 dan 25.
Permasalahan di atas juga didukung oleh Pembangunan rumah liar di atas bantaran sungai, pembuatan tambak yang mempersempit sungai dan penutupan saluran di daerah hilir. permasalahan lain adalah permasalahan non-teknis yaitu perilaku masyarakat kota Jakarta yang buruk. Perilaku membuang sampah di saluran air dan di sembarang tempat. Waktu hujan salah satunya adalah waktu bagi orang-orang yang tidak memiliki kesadaran lingkungan digunakan untuk membuang sampah di sungai.
Tata Ruang Kota Jakarta











Pembangunan kota Jakarta yang berdasar pada sebuah rencana yang disebut Rencana Umum Tata Ruang Kota atau RTRW telah dirancang sejak 1995, dengan agenda penyusunan kembali yang rutin dilaksanakan setiap 20 tahun. Diharapkan dengan adanya rencana kota tersebut diharapkan masyarakat Jakarta menjadi semakin sejahtera. Namun dalam realisasinya rencana pembangunan tersebut sepertinya hanya untuk segelintir masyarakat elit tertentu bukan berpihak pada masyarakat luas kebanyakan atau menengah kebawah. Selama 45 tahun berjalan , selama itu juga pergantian rencana kota tersebut dirasakan tidak lebih baik dari rencana kota sebelumnya, Jakarta tetap saja menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung selesai, baik masalah sosial misalnya : pengangguran, kriminalitas, kasus bunuh diri, dll. Terlebih masalah lingkungan seperti banjir, yang menjadi musibah tahunan. Dalam catatan WALHI Jakarta, banjir yang selalu terjadi disebabkan karena adanya pengalihfungsian daerah-daerah penyangga dan tangkapan air. Banjir Jakarta adalah bukti nyata konversi lahan tanpa mempertimbangkan kapasitas daya dukung lingkungan hidup. Maraknya alih fungsi lahan dan mudahnya dikelularkan izin pendirian bangunan di DKI Jakarta berimbas lansung pada semakin minimmnya kawasan Runag Terbuka Hijau (RTH) sebagai kawasan resapan air dan parkir air. Master plan DKI Jakarta tahun 1965-1985 menyebutkan, Ruang Terbuka Hijau sebesar 27,6 %. Terjadi penyusutan pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tahun 1985-2005 memproyeksikan RTH 26,1 %. Dan dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta tahun 2000-2010, hanya memproyeksikan RTH 13,49 % dari seluruh luasan Kota Jakarta. Dinas Pertamanan dan Pemakaman menyatakan, RTH di DKI Jakarta hanya mencapai 9 %.
Akibat kebijakan Tata ruang yang tidak mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis, akan selalu menimbulkan berbagai persoalan seperti banjir tahunan yang menggenangi hampir seluruh wilayah Jakarta. Belum lagi masalah polusi udara akibat emisi 9 juta kendaraan yang ada di Jakarta, kemacetan akibat pertumbuhan kendaraan yang tidak terkendali sementara luas jalan ibukota tidak bertambah signifikan,persoalan krisis air bersih akibat tercemarnya air sungai dan air tanah oleh industeri dan bakteri ecoli dan keterbatasan distribusi air PAM, kejadian longsor di kawasan penyangga selatan Jakarta seperti situ gintung, abrasi pantai,,dan intrusi air laut di Cilincing, Pademangan, muara baru dan pluit akibat reklamasi dan minimnya hutan mangrove, penurunan muka tanah hingga 10 cm pertahun (dinas pertambangan), Limbah sampah akibat pengolahan yang tidak ramah lingkungan seperti di Cilincing, Lewigajah bandung, sumur batu, bantar gebang, bojong, bogor serta kebakaran sebgai dampak tata ruang pemukiman dan kepadatan orang yang menempatinya yang semrawut, berimbas juga pada munculnya berbagai wabah penyakit akibat kebersihan dan sanitasi yang buruk, dan lain sebagainya.

Perubahan Fungsi Tata Guna Lahan dan Daerah Aliran Sungai
Perkembangan penduduk dan aktivitas di wilayah Jakarta sangat tinggi sekali, hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi lahan di beberapa wilayah di Jakarta. Pembukaan area hijau dengan pembabatan hutan untuk dijadikan pemukiman, real estate, pembangunan jalan dan sebagainya akan mempengaruhi keseimbangan alam. Salah satu dapaknya adalah berkurangnya daerah resapan sehingga air hujan tidak dapat diserap oleh tanah dan akan menyebabkan aliran permukaan. Dalam jumlah besar aliran permukaan ini akan menyebabkan banjir.
Dilihat dari segi curah hujan wilayah DAS dapat dibedakan menjadi 2 yaitu wilayah yang berfungsi sebagai wilayah resapan dan wilayah yang berfungsi sebagai wilayah pengaturan (drainase), berfungsi tidaknya wilayah tersebut akan sangat terkait dengan penggunaan lahan. Yang sangat mencolok perubahan penggunaan lahan khususnya di Catchment Area DAS Ciliwung – Cisadane adalah pesatnya pembangunan pemukiman (khususnya DAS wilayah tengah) catchment area daerah hulu dan tengah yang sejak awal berfungsi sebagai daerah resapan, berupah menjadi daerah kedap air yang dipergunakan untuk berbagai keperluan (diantaranya pemukiman), selain itu situ-situ yang ada, berdasarkan data BPDAS Citarum-Ciliwung berjumlah 199 buah Yang berfungsi tinggal 31 buah selebihnya sudah tidak berfungsi sebagai penampung air.
Kawasan resapan air di hulu DAS memiliki peran sangat penting dalam siklus hidrologi. Selain itu berdasarkan data stasiun pengamat air di hulu ciliwung menunjukan Koefisien Regim Sungai (KRS) mencapai angka 4.274 padahal normalnya harus dibawah angka 50, ini menunjukan bahwa kinerja DAS Ciliwung sudah sangat buruk.
Masalah perubahan penutupan lahan menjadi rumit lagi apabila dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu daerah dalam suatu DAS. Seringkali ditemui beberapa daerah terjadi konflik kepentingan antara ekonomi daerah dengan kelestarian lingkungan. Apalagi saat ini era otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur daerahnya. Hal tersebut ternyata telah diartikan secara kurang bijaksana oleh pemerintah daerah. Fokus perhatian lebih tertuju pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Akibatnya perhatian terhadap kelestarian lingkungan menjadi terabaikan.
Sebetulnya upaya pemerintah untuk menanggulangi permasalahan banjir jakarta dari segi regulasi telah banyak dilakukan sebagai control telah diterbitkannya PP no 33 tahun 1963 tentang penertiban pembangunan di kawasan sepanjang jalan antara jakarta – bogor – puncak – cianjur dalam bentuk hukum khusus yang kemudian disempurnakan dengan Kepres no 48 tahun 1963 yang diperbarui dengan Kepres no 79 tahun 1985 tentang penetapan RUTR kawasan puncak dan terakhir Kepres no 114 tahun 1999 yang menyangkut penataan ruang kawasan Bopuncur (Bogor, Puncak dan Cianjur) berdasarkan Kepres tersebut maka kawasan itu sitetapkan dengan fungsi utama sebagai serapan air dengan tetap mempertahankan kawasan pedesaan.
Demikian pula penggunaan lahan masing-masing DAS telah dibuatkan penggunaan lahannya, mulai zona pelindung, zone penyangga sampai zona budidaya. Pasal 50 UU no 41 tahun 1999 melarang setiap orang melakukan penebangan kiri kanan sungai, waduk atau danau atau mata air, akan tetapi tampaknya belum ditaati sepenuhnya oleh masyarakat.
Daerah aliran sungai (DAS) yang ,menyebabkan banjir jakarta adalah DAS Ciliwung-Cisadane. Karakterisitik DAS meliputi bentuk dan kemiringan lereng. Karakteristik DAS Ciliwung-Cisadane mempunyai bentuk daerah hulu dan tengah dengan kelerengan terjal. Sedangkan daerah tengah sampai hilir sangat datar dan luas. Bentuk DAS ini begitu hujan jatuh maka air hujan dari daerah hulu langsung mengalir ke bawah dengan waktu konsentrasi yang singkat.
Sungai Ciliwung mempunyai panjang aliran utama hampir 120 km dengan daerah pengaruhnya (daerah aliran sungai) seluas 387 km persegi. Wilayah yang dilintasi Ciliwung adalah  Kota Bogor, Kabupaten Bogor,  Kota Depok, danJakarta.Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Setelah melewati bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Di daerah Manggarai aliran Ciliwung banyak dimanipulasi untuk mengendalikan banjir. Jalur aslinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, hingga Gambir, namun setelah Pintu Air Istiqlal jalur lama tidak ditemukan lagi karena dibuat kanal-kanal, seperti di sisi barat Jalan Gunung Sahari dan Kanal Molenvliet di antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran.  Di Manggarai, dibuat Banjir Kanal Barat yang mengarah ke barat, lalu membelok ke utara melewati Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, hingga ke Pluit.
Dari 13 sungai yang mengalir di Jakarta, Ciliwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman kumuh. Sungai ini juga dianggap sungai yang paling parah mengalami perusakan dibandingkan sungai-sungai lain yang mengalir di Jakarta. Selain karena Daerah Aliran Sungai (DAS) di bagian hulu di Puncak dan Bogor yang rusak, DAS di Jakarta juga banyak mengalami penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan potensi penyebab banjir di Jakarta menjadi besar. Sistem pengendalian banjir sungai ini mencakup pembuatan sejumlah pintu air/pos pengamatan banjir, yaitu di Katulampa (Bogor), Depok, Manggarai, serta Pintu Air Istiqlal; serta dengan membagi aliran Ciliwung melalui kanal-kanal banjir seperti yang diuraikan di atas. Pemerintah pernah merencanakan untuk membangun Waduk Ciawi di Gadog, Megamendung, Bogor sebagai cara untuk mengendalikan aliran sejak dari bagian hulu.
Namun, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta mengungkapkan status mutu air sungai Tahun 2010 untuk 13 daerah aliran sungai (DAS) di Ibukota tidak ada satu pun yang dalam keadaan baik. Temuan ini terungkap dari pantaun terhadap 45 titik pantau di 13 daerah aliran sungai (DAS) di ibu kota. Pada aliran sungai tersebut banyak sekali dijumpai sampah dan di beberapa tempat, sungai mengalai pendangkalan akibat sampah – sampah yang dibuang di aliran sungai.

Drainase Kota Jakarta
Aliran drainase memiliki peran sangat penting sebagai jalan bagi air untuk sampai ke laut yang merupakan tujuan akhir dari air mengalir. Volume saluran drainase sungai ciliwung khususnya daerah hilir disana sini mengalami penyusutan yang disebabkan oleh ukuran lebarnya berkurang, terjadi pengendapan dan masih berkembangnya prilaku masyarakat membuang sampah di sungai.

Solusi Penanganan Banjir di Kota Jakarta
Beberapa hal yang perlu dipahami dan diperhatikan tentang penanganan banjir yaitu, banjir harus diakui dulu sebagai fenomena yang dapat terjadi dan bukan hanya gejala alam. Untuk itu banjir tidak pula disakiti tetapi harus disikapi dan diupayakan penanganannya sesuai dengan sifat air. Diperlukan pengembangan kesadaran pada seluruh pihak terkait (institusi birokrasi, institusi Politik, swasta dan masyarakat) untuk memberikan perhatian khusus terhadap fenomena banjir dan mengupayakan penanganan yang sesuai bidangnya.
Penanganan banjir jakarta dapat dilakukan dengan pendekatan sipil teknis dan pendekatan vegetatif serta pendekatan hukum. Pendekatan sipil teknis adalah dengan membuat bangunan yang dapat membantu mengendalikan aliran permukaan . Sedangkan secara vegetatif adalah melalui kegiatan pertanaman.
Beberapa Solusi adalah sebagai berikut :
  1. Peningkatan kapasitas drainase
Kapasitas saluran drainase yang tidak memadai menyebabkan aliran sungai meluap dan menggenangi daerah sekitarnya. Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya luapan banjir adalah degan meningkatkan kapasitas saluran yang ada dengan upaya melarang bangunan di bantaran sungai dan melebarkan dan melancarkan saluran drainase.
  1. Pembuatan dam penahan dan mempertahankan situ-situ yang ada
Salah satu cara untuk menghambat larinya air permukaan adalah dengan membuat dam penahan airatau embung terutama di daerah hulu dan juga meningkatkan fungsi situ-situ yang ada serta membangun situ-situ baru.
  1. Pembuatan Sumur Resapan
Khususnya untuk daerah dengan pemukiman di daerah hulu dan tengah DAS Ciliwung diterapkan pula peraturan yang ketat tentang kewajiban pembuatan sumur resapan. Pembuatan sumur reasapan pada prinsipnya adalah mengubah aliran permukaan (run off) menjadi aliran bawah permukaan (sub surface flow).









Gb. Sumur Resapan
( Sumber:PU Cipta Karya )

  1. Rehabilitasi Daerah Tangkapan
Rehabilitasi daerah tangkapan air dengan cara vegetatif terhadap lahan yang sudah kritis dapat dilakukan dengan kegiatan reboisasi di kawasan hutan dan pengembangan hutan rakyat di lahan-lahan milik dan kegiatan-kegiatan lain seperti penghijauan lingkungan, hutan kota, agroforestry, grass barier dll. Walau pada tahun pertama, upaya penanaman ini belum dpat dirasakan sumbangsihnya terhadap penanggulangan banjir. Namun setelah tanaman berumur 5 tahun ke atas baru bisa dirasakan manfaatnya.
  1. Peningkatan upaya penegakan hukum dan peraturan yang berkaitan dengan lingkungan khususnya banjir, misalnya :
  • Pelarangan pembangunan di bantaran sungai
  • Peraturan pembuangan sampah di sungai
  • Kewajiban membuat sumur resapan di permukaan
  • Penerapan tata ruang yang ditetapkan lebih ketat
  • Pembatasan secara ketat perubahan penggunaan lahan
  • Kewajiban penanaman di lahan guntai dan HGU terlantar.
  1. Pengadaan tanggul yang kuat dan menyeluruh tanpa celah sedikit pun bagi air laut masuk ke darat. Meliputi pesisir pantai dan juga pinggiran sungai yang posisinya masih di bawah permukaan laut.
  2. Memperbaiki sistem drainase dengan memperdalam waduk yang ada dan mengalirkannya ke kanal yang ada di sekitarnya. Lebih baik menormalisasi sungai-sungai dan kanal yang ada dengan memelihara agar lebar dan kedalamannya tetap terjaga.
  3. Untuk daerah yang gundul atau perumahan, dibuat modifikasi landskap berupa cekungan-cekungan. Fungsinya untuk menampung air yang mengalir akibat adanya hujan.





Gambar Cekungan di daerah tegalan












Gambar Cekungan di daerah pemukiman
  1. Mengurangi penutupan tanah dengan paving tertutup dan atau adukan semen dan aspal diganti dengan paving yang berlubang sehingga luas daerah resapan semakin besar. Atau membuat lubang resapan biopori yang juga berfungsi untuk memperluas daerah resapan.




Gambar Rumah dengan halaman di plester Gambar Rumah dengan halaman di pasang paving berlubang

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...