Kamis, 22 November 2012

A Foolish Deal


Tittle              : [Kyuhyun-Hyesung series] A Foolish Deal
Main Cast      : Shin Hyesung, Cho Kyuhyun
Support cast  : Park Junha, Lee Dongwoon, etc.
Genre            : ?
Lenght           : Chaptered

This is my 2nd FF. Semua nama, tempat dan apapun unsur yang ada di dalam FF ini hanyalah fiksi belaka. Kalau ada kesamaan itu adalah ketidaksengajaan dan mohon pemaklumannya(lol). Kekurangan dari segi ide cerita, bahasa penulisan, dll pasti bejibun. Jadi jangan lupa tinggalin komentarnya ya^^ happy reading~


Can I borrow a kiss? I promise I’ll give it back

.

.
Hyesung POV

Aku tertegun mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Junha. Semakin banyak kalimat yang dia ucapkan semakin aku merasa tidak ingin mendengarnya. Bahkan ketika dia mengucapkan kata maaf, aku merasa sangat marah. Bukan marah padanya, tapi marah pada diriku sendiri.
.
.
“Hyesung ah~ ada hal yang ingin kubicarakan” kata Park Junha dengan suara pelan. Bukan hal aneh dia berbica pelan seperti itu karena memang saat ini aku dan Junha sedang berada di perpustakaan.
“Bicara saja” sahutku tanpa menghentikan aktifitasku membolak-balik buku mekanika yang terjejer rapi di rak tinggi di depan kami.

Junha memegang lenganku dan membuatku menghentikan kegiatanku dan beralih menatapnya.
“Tidak bisakah kita bicara di sini? Sebentar lagi perpustakaan akan tutup dan aku harus segera menemukan buku yang aku butuhkan” kataku. Aku paling tidak suka diinterupsi oleh siapapu ketika sedang melakukan sesuatu. Perasaan kesal itu setara dengan perasaan kesal ketika menunggu orang dan terjebak dalam jaringan koneksi internet yang buruk.

“Buku apa yang kau cari? Tugas dari Dosen Kim dikumpulkan minggu depan, kau masih punya besok untuk mencari buku itu lagi. Atau aku akan meminta Inha noona agar mencarikannya untukmu? Baiklah, kau tunggu di sini sebentar” Junha melesat meninggalkanku yang berdiri keheranan menuju meja pustakawan cantik yang ada di dekat pintu masuk. Tak sampai tiga menit Junha sudah kembali.

“Aku sudah meminta Inha noona mencarikannya, bisa kau ambil besok. Sekarang kau ikut aku” Junha lantas menarik tanganku keluar gedung perpustakaan dan di sinilah aku sekarang. Cafe baca, di kawasan Sungai Han. Cafe yang sekaligus mempunyai sudut khusus untuk membaca.  Tempat favoritku dan Junha untuk mengerjakan tugas selama hampir tiga tahun ke belakang.

Aku dan Junha duduk berhadapan. Dari tadi Junha memintaku untuk diam dan menunggu sampai di tempat ini ketika aku menanyakan apa yang ingin dia bicarakan.

“Cokelat panas dan cappucino masing-masing satu noona” kata Junha pada seorang penjaga Cafe yang sudah sangat kami kenal.

“Ayolah Junha, cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan tadi” Aku sudah sangat tidak sabar. Sebenarnya aku sudah sedikit menduga apa yang hendak dia katakan. Tapi aku memilih menunggu Junha sendiri mengatakannya daripada terang-terangan aku menanyakan hal itu.

“Aku mengirimkan aplikasi Double Degree ke Belanda. Aku sudah melewati tes akhir dan aku dipastikan berangkat ke sana bersama lima orang dari universitas lain” Ucap Junha hati-hati. Dugaanku tepat karena beberapa minggu lalu aku melihat form scholarship kosong di map Junha. Tapi aku cukup terkejut dengan pemberitahuannya ini. Terkejut karena tidak mengira akan secepat ini.

“Whoa~ really? Awesome! Congratulation then” ucapku. Suaraku sendiri terdengar aneh di telingaku. Terdengar seperti ucapan basa-basi yang terdengar sangat berat.

Junha menatapku.

“Ah Junha. Kau harus mentraktirku. Kapan kau berangkat?” aku melanjutkan basa-basiku dan menyembunyikan gelisah yang kurasakan di balik wajahku. Bagaimana aku tidak gelisah dan merasa berat. Junha yang membuatku bertahan selama aku di Seoul. Dia pengganti keluargaku di sini dan entah dengan segala sikap luar biasanya aku selalu bisa memulai hariku dengan semangat baru. Berlebihan? Kurasa tidak. Dia melebihi teman bagiku. Dia seperti keluarga.

“Maaf Hyesung..” ucap Junha.

“Maaf untuk apa?” jawabku.

“Meninggalkanmu sendirian di sini”

“Ya! Kau pikir aku anak kecil Park junha? Aku sudah 21 tahun dan hampir 3 tahun hidup sendiri di Seoul jauh dari keluargaku. Kekhawatiranmu itu sungguh tidak beralasan. Kau pikir karena selama ini aku selalu melakukan semua hal termasuk tugas-tugas yang menggunung bersamau, aku tidak bisa menyelesaikannya sendiri? Aku bisa Junha.. jadi kapan kau berangkat?” aku mati-matian menyembunyikan kegelisahanku. Aku terlalu kekanak-kanakan memang. Bagaimana mungkin, temanku memperoleh apa yang dia inginkan dan aku berusaha basa-basi menyembunyikan ketidakrelaanku. Ya, aku masih merasa tidak rela jika meninggalkanku sendirian di sini.

“Dua hari lagi”

“Baguslah. Apa kau mau aku membantumu mempersiapkan barang-barang?”

“Hyesung ah~ menangislah kalau kau ingin menangis” ucapan Junha sangat mengagetkanku. Aku meraih cangkir cokelat panas yang sudah menjadi cokelat hangat yang ada di depanku. Aku meminumnya tergesa-gesa. Pahit.

“Maafkan aku Hyesung~ah” Junha meraih  tanganku yang dingin. Tapi aku segera melepasnya.

“Kau pikir aku teman seperti apa yang melarang temannya pergi demi kesuksesannya? Meskipun aku sangat terkejut dan sedikit tidak rela, tapi aku akan baik-baik saja di sini. Meski aku akan merasa aneh, aku pastikan itu hanya untuk beberapa hari” isakku.

“Kau jangan terus minta maaf seperti itu. Aku merasa sangat buruk kalau kau melakukannya lagi. Aku merasa seperti tidak bisa melakukan apa-apa tanpamu. Kita bertemu satu atau dua tahun lagi, ok?” aku tersenyum. Junha tersenyum.
.

.

Aku melangkah gontai menyusuri taman di pinggiran Sungai Han. Junha pergi mengurus sesuatu setelah percakapan kami di cafe tadi. Lega sekali karena aku memang ingin sendiri. Baru beberapa langkah aku memasuki taman, langkahku terhenti.

Di depanku ada seseorang yang keberadaannya selalu membuat wajahku memerah kala itu. Seseorang yang menorehkan cerita berbeda dalam hidupku ketika itu yang akhirnya karena emosi aku meminta putus darinya. Dan aku menyesalinya satu minggu setelah kejadian itu. Lee Dong Woon. Sekelebat cerita masa laluku terlintas di kepalaku saat ini. Tapi seketika perasaanku berubah ketika seseorang datang dan pria itu memeluk hangat gadis yang baru saja datang. Ada perasaan aneh menjalari tubuhku. Sudah lima tahun berlalu. Aku masih sangat mengharapkannya ketika itu. Tapi Dong Woon sangat marah dan membuatku semakin terluka dan menyesal. Bahkan kondisiku masih labil waktu aku memasuki universitas hingga aku bertemu Park Junha. Yang secara total merubah setiap sudut pandangku. Dan perlahan aku mulai melupakan Dongwoon. Tapi mengapa sekarang? Ketika Junha pergi, kenapa Dongwoon menampakkan dirinya lagi?

Aku berjalan seperti vampir sekarang. Aku pikir aku sudah melupakan Dong Woon. Tapi kenapa melihatnya seperti ini membuatku sakit Aku  berjalan di tepian sungai Han dengan perasaan kosong. Dua peristiwa itu sangat mengejutkanku. Aku benar-benar tidak sadar ada batu persis di depan kakiku dan...

“Yaaaa! Kau sudah gila...!” sayup-sayup aku mendengar suara teriakan seseorang.

Aku menutup mataku ketika merasakan tubuhku oleng tidak seimbang. Brukkk. Tapi aneh, seharusnya kalau tidak tercebur pasti aku akan kesakitan jatuh di atas aspal. Jantungku berdegup keras.

Apa aku sudah mati? Pikirku konyol. Tapi ini berbeda, bukannya tidak merasakan apa-apa tapi seperti ada sesuatu yang kutindih dan tanganku terasa seperti dicekal dan tubuhku terkunci oleh sesuatu. Telingaku menangkap sebuah erangan. Serta merta kubuka mataku.

Aku terkejut. Aku menindih seseorang di bawahku. Aku buru-buru bangkit dan menolongnya untuk berdiri.
“Maafkan aku” ucapku sambil membungkukkan badanku. “Kau tidak apa-apa?” tanyaku sambil menatap tubuh orang di depanku dengan penuh selidik. Pria ini sangat tinggi, dengan rambutnya yang kecoklatan, kulitnya wajahnya putih pucat, dengan mata yang besar- ah, pria itu terlihat memeriksa sikunya dan kulihat ada luka berselimut pasir halus di sana. Aku lantas mengambil sapu tangan yang ada di kantung celanaku dan beralih memegang lengan pria tinggi itu. Tapi pria itu mengibaskan tangannya.

“Aku akan mengobatimu. Lukamu kotor dan harus segera di bersihkan” ucapku.

“Dengan sapu tangan kotormu itu? Ah lupakan. Bahkan kau baru saja mencelakai dirimu sendiri, apa kau juga mau mencelakaiku?” aku bersungut mendengar ucapannya  yang sangat kasar.

“Ya! Kau pikir apa yang ku lakukan? Mencelakai diriku sendiri katamu?” aku mendongak menatapnya sarat emosi.

“Lalu apa yang kau lakukan di tepi sungai, berjalan seperti zombie setelah menangis tersedu-sedu dan melihat pacarmu berselingkuh?”

Perkataan pria ini sungguh sangat lucu di telingaku.

“Ya, maksudmu aku ingin bunuh diri, begitu?” aku lantas tertawa.

Lelaki itu mengedikkan bahunya.

“Baiklah, karena kau sudah menyelamatkanku, aku sangat berterimakasih. Dan kau, aku akan mengobati lukamu sebagai bentuk pertanggungjawabanku yang –anggaplah melukaimu. Ayo ikut aku” aku memberanikan diri meraih lengannya dan menariknya ke arah sebuah bangku di taman.

“Tidak ada alkohol, aku cuci lukamu dengan ini” ucapku sambil mengeluarkan botol air mineral yang masih tersegel rapi. Aku mengambil duduk di sisinya dan pria tinggi pucat itu akhirnya mengulurkan lengannya yang terluka ke arahku.

Aku mengucurkan air mineral ke sikunya hingga pasir di sekitar lukanya hilang. Setelah itu aku mengeringkannya dengan sapu tangan yang tadi ditolak mentah mentah oleh pria di sampingku ini yang sekarang hanya diam memperhatikan keseriusanku mengobati lukanya sambil sesekali meringis menahan perih.

“Beruntung aku membawa ini” ucapku memecah keheningan. Tanganku sibuk menyobek pembungkus plester luka lalu menempelkannya tepat di atas luka pria itu. Aku mengembalikan sisa plester ke dalam kantung ukuran medium yang berisi benda-benda penting semacam ‘itu’

“Selesai. Maaf ya sudah membuatmu terluka” ucapku.

“Kau seperti temanku. Aku pikir dia freak, membawa banyak barang tak masuk akal yang menambah berat tasnya yang sudah berat. Bahkan dia membawa pembuka wine ke mana-mana. Tapi belakangan aku menyadari kalau semua yang dibawanya berguna.” gumamnya.

“Eh?” sahutku menoleh kearahnya.

“Ah, lupakan”

Kami duduk bersisian di bangku taman. Aku menerawang jauh ke atas langit yang saat ini terlihat gelap tanpa bintang.

“Tadi kau bilang aku ingin bunuh diri setelah menangis tersedu sedu dan diselingkuhi pacarku? Kau mengawasiku? Siapa kau?” selidikku tanpa menoleh ke arahnya.

“Hanya kebetulan saja aku menjadi saksi kekeke” pria itu terkekeh. Aku menoleh ke arahnya.

“Kenapa? Kau tidak percaya?” tanya pria itu lagi.

.

.
Kyuhyun POV

Hari ini aku pulang malam lagi. Aku sudah menyelesaikan 10 dari 12 paper dari total semua mata kuliah minggu ini. Ponselku berdering. Begitu memastikan siapa peneleponnya, aku mendesah berat.

“Gadis ini benar-benar..”

“Wae?” tanyaku kasar. “Aku sudah di rumah. Aku capek” ucapku.

“Mwo?” aku menatap ke sekeliling cafe baca ini. Apa gadis ini mengikutiku? Pikirku. Aku tidak menemukan hal yang aneh. Hanya saja pandanganku tertumpu pada seorang gadis yang terlihat ganjil di mataku. Dia duduk tak nyaman di meja sudut cafe bersama, mungkin pacarnya. Gadis itu tampak tak nyaman karena duduk dengan backpack dengan ukuran yang tidak bisa dibilang kecil, di punggungnya. Eh, kenapa gadis itu menangis?  Dia menghapus air matanya dan tersenyum palsu. Aku tahu itu. Aku berjalan keluar sambil terus memperhatikannya.

Ketika aku sudah mencapai pintu keluar, gadis itu berdiri dan dengan langkah tergesa berjalan ke arahku (baca: pintu keluar) dan refleks aku memberinya jalan. Aku masih melihatnya ketika gadis itu berjalan menuju taman tak jauh di depan cafe.

Pandanganku ke arah gadis itu teralihkan oleh sosok gadis lain yang sangat ku kenal tengah turun dari sebuah mobil audi hitam. Aku yang tadinya berjalan menuju parkiran jadi urung dan berbalik ke arah taman.

Aku benar-benar tidak memperhatikan langkahku karena sibuk memastikan gadis bermobil audi hitam tadi tidak melihatku. Setelah kurasa aman aku segera mengarahkan pandanganku ke depan. Hup! Seketika langkahku terhenti. Aku hampir menabrak gadis aneh itu.

Gadis itu berdiri mematung melihat ke depan dengan tatapan yang sangat sulit didefinisikan. Aku mengikuti arah pandangnya dan kulihat ada dua orang muda mudi yang sedang berpelukan.

Gadis di depanku itu terdiam cukup lama dan entah kenapa aku tertarik untuk terus memperhatikannya. Selang beberapa waktu gadis itu berjalan ke arah sungai Han. Cara berjalannya sangat aneh. Kulit tengkukku tiba-tiba meremang. Aku mengikutinya. Dan tiba-tiba ku lihat gadis itu berdiri tidak seimbang dan...

“Yaaaa! Kau sudah gila...!” seruku. Aku segera berlari ke arah gadis itu, menarik lengannya dan menjatuhkan tubuhku ke arah jalan kecil beraspas di tepian tanggul sungai. Aku terjatuh cukup keras ditambah lagi berat beban tambahan yang menimpaku membuatku merasakan sakit yang berlipat. Sikuku terasa nyeri. Aku sendiri masih bergidik ngeri dengan kejadian sesaat tadi. Aku membiarkan tubuhku tertindih dan berbaring di aspal cukup lama hingga gadis yang menindihku sadar dan berdiri.

.

.

.

Hyesung POV

“Kau gadis yang sangat labil” ucap pria di depanku. Aku tertawa parau mendengar cerita bagaimana pria ini berakhir dengan luka seperti itu setelah menyelamatkanku.

“Ya! aku bilang aku tidak bunuh diri. Aku masih sangat waras untuk bisa berpikir dan tidak melakukan tindakan bodoh seperti itu” sahutku.

“Bukan itu maksudku. Moodmu mudah sekali berubah”

Aku terkekeh. Karena ucapan pria di sampingku ini sangat tepat. Aku sendiri heran, kekecewaan yang memuncak yang aku rasakan tadi tiba-tiba menguap. Mungkin karena tergantikan oleh ketakutan konyolku waktu aku hampir jatuh tadi.

 “Dan kau, aku pikir kau penguntit aneh. Tapi sekali lagi terima kasih. Aku pikir tadi aku sudah mati konyol karena aku tidak merasakan air ketika terjatuh”

“Kau tidak merasakan apa-apa, aku jadi seperti ini” pria itu menunjukkan lengannya. “Dan kau tahu, punggungku serasa ingin patah”

“Ya! aku kan sudah minta maaf dan bertanggung jawab untuk itu” sahutku.

Tiba-tiba aku melihat dari kejauhan Dong Woon berjalan ke arah tempat aku dan pria asing ini duduk.

Mataku membulat, dan pria di depanku ini mengetahui perubahanku. Tapi aku sepertinya juga melihat gambaran diriku di wajah pria di depanku ini. Matanya juga terlihat sedikit menegang. Aku mendengar seseorang berteriak.

“Kyuhyun ah, apa yang...” suara itu terhenti. Telingaku juga mendadak berhenti berfungsi ketika aku merasakan sesuatu tengkukku bersamaan dengan pria itu mendekatkan wajahnya ke arahku. Mataku semakin terbelalak karena terkejut ketika aku merasakan sesuatu yang lembut dan hangat menempel di bibirku. Sekejap.

Can I borrow a kiss? I promise I’ll give it back” sesaat setelah mendengar ucapan aneh itu, aku merasakan dia kembali merengkuhku, mendaratkan bibirnya kembali ke bibirku. Bukan kecupan ringan seperti tadi, bibir itu mulai bergerak perlahan di bibirku menimbulkan sensasi dan reaksi aneh dalam tubuhku. Mataku yang masih terbuka lebar bisa melihat dengan jelas pria di depanku yang sudah tak berjarak lagi memejamkan matanya. Wajahku memanas dan jantungku berdegup luar bisa cepat. Tanganku bergerak hendak mendorong tubuhnya tapi tangan pria itu menahannya.

Dia mengangkat wajahnya dan menatap mataku tajam. Aku bisa melihat lengkung hidungnya yang nyaris sempurna yang sesaat membius otakku untuk memuji perpaduan semua elemen wajah pria itu membentuk sebuah wajah yang ehm tampan.

“Bantu aku” ucapnya ganjil sambil menggenggam kedua tanganku. Aku masih bisa merasakan debaran keras jantungku yang jauh lebih keras dibanding ketika aku hampir jatuh ke sungai tadi.

Aku sudah membuka mulutku untuk mengatai pria itu ketika tiba-tiba seorang gadis menghampiri kami.
“Cho Kyuhyun, apa yang kau lakukan dan siapa gadis ini?” gadis itu terlihat marah dan menunjuk ke arahku.
Aku berdiri “Anda salah paham nona. Tanyakan saja padanya. Saya permisi” ucapku sopan seraya melangkahkan kaki meninggalkan dua orang asing itu. Aku lupa dengan keberadaan Dongwoon karena peristiwa mengejutkan tadi. Perasaanku sangat tak karuan.

Sejenak aku berhenti dan meletakkan tanganku tepat di atas jantungku. Cepat. Sangat cepat. Aku kembali melangkahkan kakiku.

Seseorang menarik lenganku membuat badanku berbalik arah seketika. Dongwoon. Aku baru ingat sekarang. Tiba-tiba aku merasa cemas bukan main. Apa dia melihat kejadian tadi? Apa yang harus kukatakan kalau dia melihatnya. Bahkan karena alasan itulah dulu aku meminta putus darinya. Dan bahkan sekarang orang asing yang bahkan tidak kuketahui namanya berani meruntuhkan pertahananku dengan menciumku sepihak seperti itu. Dongwoon seperti memang melihatnya. Dia terlihat marah sekarang.
“Dongwoon?” ucapku tertahan. Aku benar-benar seperti raja yang diskak mat sekarang. “Kau...  sedang apa di sini?” tanyaku.

Lee Dongwoon masih memegang lenganku erat.

“Kau membuatku kecewa Hyesung ah. Kau menjilat ludahmu sendiri. Kau lupa dengan apa yang kau katakan padaku lima tahun yang lalu. Aku bahkan masih mengingatnya dengan sangat jelas”

“Ya, kau jangan salah sang..”

“Kau pikir mataku rabun? Aku melihatnya dengan sangat jelas”

“Ya, kenapa kau marah padaku? Urus saja pacarmu. Dia pasti mencarimu” aku mengalihkan pembicaraan dan berusaha melepas lenganku yang dicekal Dongwoon dengan kuat.

“Pacar apa? Kau jangan mengalihkan pembicaraan.” Suara Dongwoon semakin meninggi dan cekalannya semakin kuat.

“Sakit Dongwoon ah. Lepaskan aku!”

“Lepaskan tanganmu” sebuah suara berikut sambaran tangan lain ke tanganku yang dicekal Dongwoon mengejutkanku, Dongwoon juga tampak sama terkejutnya denganku.

“Kubilang lepaskan tanganmu darinya” ucap pria pucat itu. Dongwoon terperangah dan mengendurkan cekalannya.

“Kenapa kau tidak menungguku dan pergi begitu saja. Ayo pulang” ucap pria pucat itu lembut. Aku bahkan menurut saja ketika pria pucat itu menggenggam tanganku dan menarikku pergi menjauh dari Dongwoon yang hanya bisa terdiam memperhatikan kepergianku.

.

.

“Ya! berani-beraninya kau... Meminjam ciuman? What a foolish deal!” ucapku keras-keras.

“Ya, aku tidak tuli. Jangan berteriak seperti itu. Setidaknya kita bisa selamat dari orang yang ingin kita hindari” ucapan pria itu terhenti.

Dan  satu lagi, aku bilang aku akan mengembalikannya. Bukankah itu cukup masuk akal dan bertanggung jawab? Aku meminjam dan akan mengembalikannya. Ayo masuk” kata pria pucat itu setelah membuka pintu depan lamborghininya.

“Siapa bilang aku menghindarinya? Masuk akal dan bertanggungjawab katamu? Itu konyol! Dan kau! Apa maksudmu meyuruhku seenaknya masuk ke mobilmu? Kau pikir aku bodoh. Kau bisa saja mencelakaiku atau berbuat macam-macam padaku. Iya kan?” tuduhku dan membuatnya tergelak.

“Bodoh! Bagaimana mungkin aku mencelakaimu setelah susah payah menyelamatkanmu dari tindakan bodohmu sendiri” pria pucat itu menyeringai.

“Aku tidak mencoba bunuh diri” sahutku tak terima. Aku menggerak-gerakkan bahuku tak wajar. Jujur, backpack dipunggungku ini sangat berat dan aku tidak pernah melepaskannya barang sekejappun sejak keluar dari perpustakaan tadi. Seperti mengetahui ketidaknyamananku, pria pucat itu meraih backpackku, melepasnya dari punggungku dan meletakkannya di jok belakang mobilnya.

“Sudah lewat tengah malam. Kuantar kau pulang sebagai pernyataan terimakasihku. Dan aku ingin membicarakan sesuatu denganmu” pria pucat itu mendorongku halus ke dalam mobilnya.

“Ya! Kau pikir aku gadis murahan!” serta merta aku menendang kaki pria pucat itu tepat mengenai tulang keringnya.

“Aish! Kau memang sangat labil. Sakit kau tau!” pria itu mengusap kakinya.

“Baiklah, kau pegang ini. Ini barangku yang sangat berharga. Kau pegang sebagai jaminan. Dan aku tidak akan melakukan sesuatu buruk padamu. Kau bisa mempercayaiku” pria pucat itu menyerahkan sebuah benda elektrik berwarna putih bertombol banyak.

Apa ini? PSP? Pikirku. Aku menerimanya dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak membanting benda itu.

“Ya ya ya yaa! aku menyerahkan PSP kesayanganku bukan untuk kau perlakukan tidak manusiawi seperti itu. PSP itu hidupku” ucapnya sambil merebut kembali PSPnya dari tanganku. “Ini sebagai penjaminku seperti yang sudah kukatakan tadi supaya kau percaya aku tidak akan mencelakaimu”

Aku tergelak. Ucapan yang sangat tidak masuk akal. “Yeah, I know. Hand in to me your sacred toy. I will use it well”

Pria itu setengah hati menyerahkan benda putih itu ke tanganku. “Jangan kau apa-apakan dia!”

Aku mengedipkan sebelah mataku ke arahnya dan masuk ke mobilnya dengan sukarela.

.

.

“Jadi gadis tadi menyukaimu? Aku pikir dia pacarmu. Aku merasa sangat serba salah tadi”

“Ya, dan itu sangat menggangguku. Karena itu aku ingin kau menolongku. Lain kali, mungkin di waktu tak terduga, aku ingin kau menolongku” ucap pria yang baru ku ketahui bernama Kyuhyun, Cho Kyuhyun.

“Bagaimana caranya” tanyaku.

Pretend to be my girlfriend in front of her”

“What?!?” Aku berteriak. Permintaan yang sungguh konyol menurutku.

“Aku tahu kau juga menghindari seseorang. Orang yang di taman tadi, yang menarik tanganmu...”

“Sudah kubilang aku tidak menghindarinya. Aku hanya belum bisa bertemu dengannya karena suatu hal. Aku tidak benar-benar menghindarinya”
.

.

Kyuhyun POV

Ah, pria masa lalu... Dan kau masih berharap padanya. Konyol... Pikirku dalam hati setelah mendengar cerita dari gadis di sampingku ini. Cara berpikirnya sangat aneh. Aku menghentikan mobil di depan sebuah rumah mungil yang cukup asri.

“Ini rumahmu?”

“Rumah sewaan tepatnya. Aku dari Busan” jawabnya.

Aku pamit. Setelah membunyikan klakson dua kali aku langsung meluncur menuju rumah.

To be continue...

2 komentar:

  1. lagi-lagi aku suka gaya bahasanya... tapikarna ga ada keterangan POVnya aku sedikit binggung ini bagian siapa.. trus ngakak pas kyu nyeritain changmin LOL.. oh iya park junha ini pengacara Park? satu lagi aku suka beckgroundnya,... ^^

    BalasHapus
  2. hihihi. aku bias karakternya Park Junha kkk. aku tambah POVnya deh. hehe.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...