Tittle : [Kyuhyun-Hyesung series] A Foolish Deal
Main Cast : Shin Hyesung, Cho Kyuhyun
Support cast : Park Junha, Lee Dongwoon, etc.
Genre : ?
Lenght : Chaptered
This is my 2nd FF. Semua nama, tempat dan apapun unsur yang ada di dalam FF
ini hanyalah fiksi belaka. Kalau ada kesamaan itu adalah ketidaksengajaan dan
mohon pemaklumannya(lol). Kekurangan dari segi ide cerita, bahasa penulisan,
dll pasti bejibun. Jadi jangan lupa tinggalin komentarnya ya^^ happy reading~
“Can I borrow a kiss? I promise I’ll give it back”
.
.
Hyesung POV
Hyesung POV
Aku tertegun mendengarkan setiap kata
yang keluar dari mulut Junha. Semakin banyak
kalimat yang dia ucapkan semakin aku merasa tidak ingin mendengarnya. Bahkan
ketika dia mengucapkan kata maaf, aku merasa sangat marah. Bukan marah padanya,
tapi marah pada diriku sendiri.
.
.
“Hyesung ah~
ada hal yang ingin kubicarakan” kata Park Junha dengan suara pelan. Bukan hal
aneh dia berbica pelan seperti itu karena memang saat ini aku dan Junha sedang
berada di perpustakaan.
“Bicara saja”
sahutku tanpa menghentikan aktifitasku membolak-balik buku mekanika yang
terjejer rapi di rak tinggi di depan kami.
Junha
memegang lenganku dan membuatku menghentikan kegiatanku dan beralih menatapnya.
“Tidak
bisakah kita bicara di sini? Sebentar lagi perpustakaan akan tutup dan aku
harus segera menemukan buku yang aku butuhkan” kataku. Aku paling tidak suka
diinterupsi oleh siapapu ketika sedang melakukan sesuatu. Perasaan kesal itu
setara dengan perasaan kesal ketika menunggu orang dan terjebak dalam jaringan
koneksi internet yang buruk.
“Buku apa
yang kau cari? Tugas dari Dosen Kim dikumpulkan minggu depan, kau masih punya
besok untuk mencari buku itu lagi. Atau aku akan meminta Inha noona agar
mencarikannya untukmu? Baiklah, kau tunggu di sini sebentar” Junha melesat meninggalkanku
yang berdiri keheranan menuju meja pustakawan cantik yang ada di dekat pintu
masuk. Tak sampai tiga menit Junha sudah kembali.
“Aku sudah
meminta Inha noona mencarikannya, bisa kau ambil besok. Sekarang kau ikut aku”
Junha lantas menarik tanganku keluar gedung perpustakaan dan di sinilah aku
sekarang. Cafe baca, di kawasan Sungai Han. Cafe yang sekaligus mempunyai sudut
khusus untuk membaca. Tempat favoritku
dan Junha untuk mengerjakan tugas selama hampir tiga tahun ke belakang.
Aku dan Junha
duduk berhadapan. Dari tadi Junha memintaku untuk diam dan menunggu sampai di
tempat ini ketika aku menanyakan apa yang ingin dia bicarakan.
“Cokelat
panas dan cappucino masing-masing satu noona” kata Junha pada seorang penjaga
Cafe yang sudah sangat kami kenal.
“Ayolah
Junha, cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan tadi” Aku sudah sangat tidak
sabar. Sebenarnya aku sudah sedikit menduga apa yang hendak dia katakan. Tapi
aku memilih menunggu Junha sendiri mengatakannya daripada terang-terangan aku
menanyakan hal itu.
“Aku
mengirimkan aplikasi Double Degree ke Belanda. Aku sudah melewati tes akhir dan
aku dipastikan berangkat ke sana bersama lima orang dari universitas lain” Ucap
Junha hati-hati. Dugaanku tepat karena beberapa minggu lalu aku melihat form scholarship
kosong di map Junha. Tapi aku cukup terkejut dengan pemberitahuannya ini.
Terkejut karena tidak mengira akan secepat ini.
“Whoa~ really?
Awesome! Congratulation then” ucapku. Suaraku sendiri terdengar aneh di
telingaku. Terdengar seperti ucapan basa-basi yang terdengar sangat berat.
Junha
menatapku.
“Ah Junha.
Kau harus mentraktirku. Kapan kau berangkat?” aku melanjutkan basa-basiku dan
menyembunyikan gelisah yang kurasakan di balik wajahku. Bagaimana aku tidak
gelisah dan merasa berat. Junha yang membuatku bertahan selama aku di Seoul.
Dia pengganti keluargaku di sini dan entah dengan segala sikap luar biasanya
aku selalu bisa memulai hariku dengan semangat baru. Berlebihan? Kurasa tidak. Dia
melebihi teman bagiku. Dia seperti keluarga.
“Maaf Hyesung..”
ucap Junha.
“Maaf untuk
apa?” jawabku.
“Meninggalkanmu
sendirian di sini”
“Ya! Kau
pikir aku anak kecil Park junha? Aku sudah 21 tahun dan hampir 3 tahun hidup
sendiri di Seoul jauh dari keluargaku. Kekhawatiranmu itu sungguh tidak
beralasan. Kau pikir karena selama ini aku selalu melakukan semua hal termasuk
tugas-tugas yang menggunung bersamau, aku tidak bisa menyelesaikannya sendiri?
Aku bisa Junha.. jadi kapan kau berangkat?” aku mati-matian menyembunyikan
kegelisahanku. Aku terlalu kekanak-kanakan memang. Bagaimana mungkin, temanku memperoleh
apa yang dia inginkan dan aku berusaha basa-basi menyembunyikan
ketidakrelaanku. Ya, aku masih merasa tidak rela jika meninggalkanku sendirian
di sini.
“Dua hari
lagi”
“Baguslah.
Apa kau mau aku membantumu mempersiapkan barang-barang?”
“Hyesung ah~
menangislah kalau kau ingin menangis” ucapan Junha sangat mengagetkanku. Aku
meraih cangkir cokelat panas yang sudah menjadi cokelat hangat yang ada di
depanku. Aku meminumnya tergesa-gesa. Pahit.
“Maafkan aku
Hyesung~ah” Junha meraih tanganku yang
dingin. Tapi aku segera melepasnya.
“Kau pikir
aku teman seperti apa yang melarang temannya pergi demi kesuksesannya? Meskipun
aku sangat terkejut dan sedikit tidak rela, tapi aku akan baik-baik saja di
sini. Meski aku akan merasa aneh, aku pastikan itu hanya untuk beberapa hari”
isakku.
“Kau jangan
terus minta maaf seperti itu. Aku merasa sangat buruk kalau kau melakukannya
lagi. Aku merasa seperti tidak bisa melakukan apa-apa tanpamu. Kita bertemu
satu atau dua tahun lagi, ok?” aku tersenyum. Junha tersenyum.
.
.
Aku melangkah
gontai menyusuri taman di pinggiran Sungai Han. Junha pergi mengurus sesuatu
setelah percakapan kami di cafe tadi. Lega sekali karena aku memang ingin
sendiri. Baru beberapa langkah aku memasuki taman, langkahku terhenti.
Di depanku
ada seseorang yang keberadaannya selalu membuat wajahku memerah kala itu.
Seseorang yang menorehkan cerita berbeda dalam hidupku ketika itu yang akhirnya
karena emosi aku meminta putus darinya. Dan aku menyesalinya satu minggu
setelah kejadian itu. Lee Dong Woon. Sekelebat cerita masa laluku terlintas di
kepalaku saat ini. Tapi seketika perasaanku berubah ketika seseorang datang dan
pria itu memeluk hangat gadis yang baru saja datang. Ada perasaan aneh
menjalari tubuhku. Sudah lima tahun berlalu. Aku masih sangat mengharapkannya
ketika itu. Tapi Dong Woon sangat marah dan membuatku semakin terluka dan
menyesal. Bahkan kondisiku masih labil waktu aku memasuki universitas hingga
aku bertemu Park Junha. Yang secara total merubah setiap sudut pandangku. Dan
perlahan aku mulai melupakan Dongwoon. Tapi mengapa sekarang? Ketika Junha
pergi, kenapa Dongwoon menampakkan dirinya lagi?
Aku berjalan
seperti vampir sekarang. Aku pikir aku sudah melupakan Dong Woon. Tapi kenapa
melihatnya seperti ini membuatku sakit Aku
berjalan di tepian sungai Han dengan perasaan kosong. Dua peristiwa itu
sangat mengejutkanku. Aku benar-benar tidak sadar ada batu persis di depan
kakiku dan...
“Yaaaa! Kau
sudah gila...!” sayup-sayup aku mendengar suara teriakan seseorang.
Aku menutup
mataku ketika merasakan tubuhku oleng tidak seimbang. Brukkk. Tapi aneh,
seharusnya kalau tidak tercebur pasti aku akan kesakitan jatuh di atas aspal.
Jantungku berdegup keras.
Apa aku sudah mati? Pikirku konyol.
Tapi ini berbeda, bukannya tidak merasakan apa-apa tapi seperti ada sesuatu
yang kutindih dan tanganku terasa seperti dicekal dan tubuhku terkunci oleh
sesuatu. Telingaku menangkap sebuah erangan. Serta merta kubuka mataku.
Aku terkejut.
Aku menindih seseorang di bawahku. Aku buru-buru bangkit dan menolongnya untuk
berdiri.
“Maafkan aku”
ucapku sambil membungkukkan badanku. “Kau tidak apa-apa?” tanyaku sambil
menatap tubuh orang di depanku dengan penuh selidik. Pria ini sangat tinggi, dengan
rambutnya yang kecoklatan, kulitnya wajahnya putih pucat, dengan mata yang
besar- ah, pria itu terlihat memeriksa sikunya dan kulihat ada luka berselimut
pasir halus di sana. Aku lantas mengambil sapu tangan yang ada di kantung
celanaku dan beralih memegang lengan pria tinggi itu. Tapi pria itu mengibaskan
tangannya.
“Aku akan
mengobatimu. Lukamu kotor dan harus segera di bersihkan” ucapku.
“Dengan sapu
tangan kotormu itu? Ah lupakan. Bahkan kau baru saja mencelakai dirimu sendiri,
apa kau juga mau mencelakaiku?” aku bersungut mendengar ucapannya yang sangat kasar.
“Ya! Kau
pikir apa yang ku lakukan? Mencelakai diriku sendiri katamu?” aku mendongak
menatapnya sarat emosi.
“Lalu apa
yang kau lakukan di tepi sungai, berjalan seperti zombie setelah menangis
tersedu-sedu dan melihat pacarmu berselingkuh?”
Perkataan
pria ini sungguh sangat lucu di telingaku.
“Ya, maksudmu
aku ingin bunuh diri, begitu?” aku lantas tertawa.
Lelaki itu
mengedikkan bahunya.
“Baiklah,
karena kau sudah menyelamatkanku, aku sangat berterimakasih. Dan kau, aku akan
mengobati lukamu sebagai bentuk pertanggungjawabanku yang –anggaplah melukaimu. Ayo ikut aku” aku memberanikan diri
meraih lengannya dan menariknya ke arah sebuah bangku di taman.
“Tidak ada
alkohol, aku cuci lukamu dengan ini” ucapku sambil mengeluarkan botol air
mineral yang masih tersegel rapi. Aku mengambil duduk di sisinya dan pria
tinggi pucat itu akhirnya mengulurkan lengannya yang terluka ke arahku.
Aku
mengucurkan air mineral ke sikunya hingga pasir di sekitar lukanya hilang.
Setelah itu aku mengeringkannya dengan sapu tangan yang tadi ditolak mentah
mentah oleh pria di sampingku ini yang sekarang hanya diam memperhatikan
keseriusanku mengobati lukanya sambil sesekali meringis menahan perih.
“Beruntung
aku membawa ini” ucapku memecah keheningan. Tanganku sibuk menyobek pembungkus
plester luka lalu menempelkannya tepat di atas luka pria itu. Aku mengembalikan
sisa plester ke dalam kantung ukuran medium yang berisi benda-benda penting
semacam ‘itu’
“Selesai.
Maaf ya sudah membuatmu terluka” ucapku.
“Kau seperti
temanku. Aku pikir dia freak, membawa banyak barang tak masuk akal yang
menambah berat tasnya yang sudah berat. Bahkan dia membawa pembuka wine ke
mana-mana. Tapi belakangan aku menyadari kalau semua yang dibawanya berguna.”
gumamnya.
“Eh?” sahutku
menoleh kearahnya.
“Ah, lupakan”
Kami duduk
bersisian di bangku taman. Aku menerawang jauh ke atas langit yang saat ini
terlihat gelap tanpa bintang.
“Tadi kau
bilang aku ingin bunuh diri setelah menangis tersedu sedu dan diselingkuhi
pacarku? Kau mengawasiku? Siapa kau?” selidikku tanpa menoleh ke arahnya.
“Hanya
kebetulan saja aku menjadi saksi kekeke” pria itu terkekeh. Aku menoleh ke
arahnya.
“Kenapa? Kau
tidak percaya?” tanya pria itu lagi.
.
.
Kyuhyun POV
Kyuhyun POV
Hari ini aku
pulang malam lagi. Aku sudah menyelesaikan 10 dari 12 paper dari total semua
mata kuliah minggu ini. Ponselku berdering. Begitu memastikan siapa
peneleponnya, aku mendesah berat.
“Gadis ini
benar-benar..”
“Wae?”
tanyaku kasar. “Aku sudah di rumah. Aku capek” ucapku.
“Mwo?” aku
menatap ke sekeliling cafe baca ini. Apa gadis ini mengikutiku? Pikirku.
Aku tidak menemukan hal yang aneh. Hanya saja pandanganku tertumpu pada seorang
gadis yang terlihat ganjil di mataku. Dia duduk tak nyaman di meja sudut cafe
bersama, mungkin pacarnya. Gadis itu tampak tak nyaman karena duduk dengan
backpack dengan ukuran yang tidak bisa dibilang kecil, di punggungnya. Eh,
kenapa gadis itu menangis? Dia
menghapus air matanya dan tersenyum palsu. Aku tahu itu. Aku berjalan keluar
sambil terus memperhatikannya.
Ketika aku
sudah mencapai pintu keluar, gadis itu berdiri dan dengan langkah tergesa
berjalan ke arahku (baca: pintu keluar) dan refleks aku memberinya jalan. Aku
masih melihatnya ketika gadis itu berjalan menuju taman tak jauh di depan cafe.
Pandanganku
ke arah gadis itu teralihkan oleh sosok gadis lain yang sangat ku kenal tengah
turun dari sebuah mobil audi hitam. Aku yang tadinya berjalan menuju parkiran
jadi urung dan berbalik ke arah taman.
Aku
benar-benar tidak memperhatikan langkahku karena sibuk memastikan gadis
bermobil audi hitam tadi tidak melihatku. Setelah kurasa aman aku segera
mengarahkan pandanganku ke depan. Hup! Seketika langkahku terhenti. Aku hampir
menabrak gadis aneh itu.
Gadis itu
berdiri mematung melihat ke depan dengan tatapan yang sangat sulit
didefinisikan. Aku mengikuti arah pandangnya dan kulihat ada dua orang muda
mudi yang sedang berpelukan.
Gadis di
depanku itu terdiam cukup lama dan entah kenapa aku tertarik untuk terus
memperhatikannya. Selang beberapa waktu gadis itu berjalan ke arah sungai Han.
Cara berjalannya sangat aneh. Kulit tengkukku tiba-tiba meremang. Aku
mengikutinya. Dan tiba-tiba ku lihat gadis itu berdiri tidak seimbang dan...
“Yaaaa! Kau
sudah gila...!” seruku. Aku segera berlari ke arah gadis itu, menarik lengannya
dan menjatuhkan tubuhku ke arah jalan kecil beraspas di tepian tanggul sungai.
Aku terjatuh cukup keras ditambah lagi berat beban tambahan yang menimpaku
membuatku merasakan sakit yang berlipat. Sikuku terasa nyeri. Aku sendiri masih
bergidik ngeri dengan kejadian sesaat tadi. Aku membiarkan tubuhku tertindih
dan berbaring di aspal cukup lama hingga gadis yang menindihku sadar dan berdiri.
.
.
.
Hyesung POV
Hyesung POV
“Kau gadis
yang sangat labil” ucap pria di depanku. Aku tertawa parau mendengar cerita
bagaimana pria ini berakhir dengan luka seperti itu setelah menyelamatkanku.
“Ya! aku
bilang aku tidak bunuh diri. Aku masih sangat waras untuk bisa berpikir dan
tidak melakukan tindakan bodoh seperti itu” sahutku.
“Bukan itu
maksudku. Moodmu mudah sekali berubah”
Aku terkekeh.
Karena ucapan pria di sampingku ini sangat tepat. Aku sendiri heran, kekecewaan
yang memuncak yang aku rasakan tadi tiba-tiba menguap. Mungkin karena tergantikan
oleh ketakutan konyolku waktu aku hampir jatuh tadi.
“Dan kau, aku pikir kau penguntit aneh. Tapi
sekali lagi terima kasih. Aku pikir tadi aku sudah mati konyol karena aku tidak
merasakan air ketika terjatuh”
“Kau tidak
merasakan apa-apa, aku jadi seperti ini” pria itu menunjukkan lengannya. “Dan
kau tahu, punggungku serasa ingin patah”
“Ya! aku kan sudah
minta maaf dan bertanggung jawab untuk itu” sahutku.
Tiba-tiba aku
melihat dari kejauhan Dong Woon berjalan ke arah tempat aku dan pria asing ini
duduk.
Mataku
membulat, dan pria di depanku ini mengetahui perubahanku. Tapi aku sepertinya
juga melihat gambaran diriku di wajah pria di depanku ini. Matanya juga
terlihat sedikit menegang. Aku mendengar seseorang berteriak.
“Kyuhyun ah,
apa yang...” suara itu terhenti. Telingaku juga mendadak berhenti berfungsi
ketika aku merasakan sesuatu tengkukku bersamaan dengan pria itu mendekatkan
wajahnya ke arahku. Mataku semakin terbelalak karena terkejut ketika aku merasakan
sesuatu yang lembut dan hangat menempel di bibirku. Sekejap.
“Can I
borrow a kiss? I promise I’ll give it back” sesaat setelah mendengar ucapan
aneh itu, aku merasakan dia kembali merengkuhku, mendaratkan bibirnya kembali
ke bibirku. Bukan kecupan ringan seperti tadi, bibir itu mulai bergerak
perlahan di bibirku menimbulkan sensasi dan reaksi aneh dalam tubuhku. Mataku
yang masih terbuka lebar bisa melihat dengan jelas pria di depanku yang sudah
tak berjarak lagi memejamkan matanya. Wajahku memanas dan jantungku berdegup
luar bisa cepat. Tanganku bergerak hendak mendorong tubuhnya tapi tangan pria
itu menahannya.
Dia
mengangkat wajahnya dan menatap mataku tajam. Aku bisa melihat lengkung
hidungnya yang nyaris sempurna yang sesaat membius otakku untuk memuji
perpaduan semua elemen wajah pria itu membentuk sebuah wajah yang ehm tampan.
“Bantu aku”
ucapnya ganjil sambil menggenggam kedua tanganku. Aku masih bisa merasakan
debaran keras jantungku yang jauh lebih keras dibanding ketika aku hampir jatuh
ke sungai tadi.
Aku sudah
membuka mulutku untuk mengatai pria itu ketika tiba-tiba seorang gadis
menghampiri kami.
“Cho Kyuhyun,
apa yang kau lakukan dan siapa gadis ini?” gadis itu terlihat marah dan
menunjuk ke arahku.
Aku berdiri
“Anda salah paham nona. Tanyakan saja padanya. Saya permisi” ucapku sopan
seraya melangkahkan kaki meninggalkan dua orang asing itu. Aku lupa dengan
keberadaan Dongwoon karena peristiwa mengejutkan tadi. Perasaanku sangat tak
karuan.
Sejenak aku
berhenti dan meletakkan tanganku tepat di atas jantungku. Cepat. Sangat cepat.
Aku kembali melangkahkan kakiku.
Seseorang
menarik lenganku membuat badanku berbalik arah seketika. Dongwoon. Aku baru
ingat sekarang. Tiba-tiba aku merasa cemas bukan main. Apa dia melihat kejadian
tadi? Apa yang harus kukatakan kalau dia melihatnya. Bahkan karena alasan
itulah dulu aku meminta putus darinya. Dan bahkan sekarang orang asing yang
bahkan tidak kuketahui namanya berani meruntuhkan pertahananku dengan menciumku
sepihak seperti itu. Dongwoon seperti memang melihatnya. Dia terlihat marah
sekarang.
“Dongwoon?”
ucapku tertahan. Aku benar-benar seperti raja yang diskak mat sekarang. “Kau... sedang apa di sini?” tanyaku.
Lee Dongwoon
masih memegang lenganku erat.
“Kau
membuatku kecewa Hyesung ah. Kau menjilat ludahmu sendiri. Kau lupa dengan apa
yang kau katakan padaku lima tahun yang lalu. Aku bahkan masih mengingatnya
dengan sangat jelas”
“Ya, kau jangan
salah sang..”
“Kau pikir
mataku rabun? Aku melihatnya dengan sangat jelas”
“Ya, kenapa
kau marah padaku? Urus saja pacarmu. Dia pasti mencarimu” aku mengalihkan
pembicaraan dan berusaha melepas lenganku yang dicekal Dongwoon dengan kuat.
“Pacar apa?
Kau jangan mengalihkan pembicaraan.” Suara Dongwoon semakin meninggi dan
cekalannya semakin kuat.
“Sakit
Dongwoon ah. Lepaskan aku!”
“Lepaskan
tanganmu” sebuah suara berikut sambaran tangan lain ke tanganku yang dicekal
Dongwoon mengejutkanku, Dongwoon juga tampak sama terkejutnya denganku.
“Kubilang
lepaskan tanganmu darinya” ucap pria pucat itu. Dongwoon terperangah dan
mengendurkan cekalannya.
“Kenapa kau
tidak menungguku dan pergi begitu saja. Ayo pulang” ucap pria pucat itu lembut.
Aku bahkan menurut saja ketika pria pucat itu menggenggam tanganku dan
menarikku pergi menjauh dari Dongwoon yang hanya bisa terdiam memperhatikan
kepergianku.
.
.
“Ya!
berani-beraninya kau... Meminjam ciuman? What a foolish deal!” ucapku
keras-keras.
“Ya, aku
tidak tuli. Jangan berteriak seperti itu. Setidaknya kita bisa selamat dari
orang yang ingin kita hindari” ucapan pria itu terhenti.
Dan satu lagi, aku bilang aku akan
mengembalikannya. Bukankah itu cukup masuk akal dan bertanggung jawab? Aku
meminjam dan akan mengembalikannya. Ayo masuk” kata pria pucat itu setelah
membuka pintu depan lamborghininya.
“Siapa bilang
aku menghindarinya? Masuk akal dan bertanggungjawab katamu? Itu konyol! Dan
kau! Apa maksudmu meyuruhku seenaknya masuk ke mobilmu? Kau pikir aku bodoh.
Kau bisa saja mencelakaiku atau berbuat macam-macam padaku. Iya kan?” tuduhku
dan membuatnya tergelak.
“Bodoh!
Bagaimana mungkin aku mencelakaimu setelah susah payah menyelamatkanmu dari
tindakan bodohmu sendiri” pria pucat itu menyeringai.
“Aku tidak
mencoba bunuh diri” sahutku tak terima. Aku menggerak-gerakkan bahuku tak
wajar. Jujur, backpack dipunggungku ini sangat berat dan aku tidak pernah
melepaskannya barang sekejappun sejak keluar dari perpustakaan tadi. Seperti
mengetahui ketidaknyamananku, pria pucat itu meraih backpackku, melepasnya dari
punggungku dan meletakkannya di jok belakang mobilnya.
“Sudah lewat
tengah malam. Kuantar kau pulang sebagai pernyataan terimakasihku. Dan aku
ingin membicarakan sesuatu denganmu” pria pucat itu mendorongku halus ke dalam
mobilnya.
“Ya! Kau
pikir aku gadis murahan!” serta merta aku menendang kaki pria pucat itu tepat
mengenai tulang keringnya.
“Aish! Kau
memang sangat labil. Sakit kau tau!” pria itu mengusap kakinya.
“Baiklah, kau
pegang ini. Ini barangku yang sangat berharga. Kau pegang sebagai jaminan. Dan
aku tidak akan melakukan sesuatu buruk padamu. Kau bisa mempercayaiku” pria
pucat itu menyerahkan sebuah benda elektrik berwarna putih bertombol banyak.
Apa ini? PSP? Pikirku. Aku menerimanya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak membanting benda itu.
“Ya ya ya yaa!
aku menyerahkan PSP kesayanganku bukan untuk kau perlakukan tidak manusiawi
seperti itu. PSP itu hidupku” ucapnya sambil merebut kembali PSPnya dari
tanganku. “Ini sebagai penjaminku seperti yang sudah kukatakan tadi supaya kau
percaya aku tidak akan mencelakaimu”
Aku tergelak.
Ucapan yang sangat tidak masuk akal. “Yeah, I know. Hand in to me your
sacred toy. I will use it well”
Pria itu
setengah hati menyerahkan benda putih itu ke tanganku. “Jangan kau apa-apakan
dia!”
Aku
mengedipkan sebelah mataku ke arahnya dan masuk ke mobilnya dengan sukarela.
.
.
“Jadi gadis
tadi menyukaimu? Aku pikir dia pacarmu. Aku merasa sangat serba salah tadi”
“Ya, dan itu
sangat menggangguku. Karena itu aku ingin kau menolongku. Lain kali, mungkin di
waktu tak terduga, aku ingin kau menolongku” ucap pria yang baru ku ketahui
bernama Kyuhyun, Cho Kyuhyun.
“Bagaimana
caranya” tanyaku.
“Pretend
to be my girlfriend in front of her”
“What?!?” Aku berteriak. Permintaan yang
sungguh konyol menurutku.
“Aku tahu kau
juga menghindari seseorang. Orang yang di taman tadi, yang menarik tanganmu...”
“Sudah
kubilang aku tidak menghindarinya. Aku hanya belum bisa bertemu dengannya
karena suatu hal. Aku tidak benar-benar menghindarinya”
.
.
Kyuhyun POV
Kyuhyun POV
Ah, pria masa lalu... Dan kau masih berharap padanya. Konyol... Pikirku dalam hati setelah mendengar cerita dari gadis
di sampingku ini. Cara berpikirnya sangat aneh. Aku menghentikan mobil di depan
sebuah rumah mungil yang cukup asri.
“Ini rumahmu?”
“Rumah sewaan
tepatnya. Aku dari Busan” jawabnya.
Aku pamit.
Setelah membunyikan klakson dua kali aku langsung meluncur menuju rumah.
To be
continue...
lagi-lagi aku suka gaya bahasanya... tapikarna ga ada keterangan POVnya aku sedikit binggung ini bagian siapa.. trus ngakak pas kyu nyeritain changmin LOL.. oh iya park junha ini pengacara Park? satu lagi aku suka beckgroundnya,... ^^
BalasHapushihihi. aku bias karakternya Park Junha kkk. aku tambah POVnya deh. hehe.
BalasHapus